A. Sunnah Sebagai Sumber Hukum
1. Pengertian
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum
muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap
Al-Qur’an sebagai sumber hukum islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa
sunnah sebagai sumber hukum islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran sunnah
sebagai sumber hukum islam, bukan saja memperoleh dosa tetapi juga murtad
hukumnya.
Banyak ayat Al-Qur’an
atau al-Hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan salah satu
sumber hukum Islam, selain Al-Qur’an, yang wajib di ikuti sebagaimana mengikuti
Al-Qur’an baik dalam bentuk awamir maupun nawahinya. Untuk mengetahui
sebagaimana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dari
beberapa dalil, baik dalil naqli maupun aqli, sebagai berikut:
¨
Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang
kewajiban mempercayai dan menerima yang di sampaikan oleh Rasul kepada umatnya
untuk di jadikan pedoman. Di antara ayat-ayat dimaksud adalah:
Firman Allah dalam surat Ali imran ayat 179 yang artinya sebagai
berikut:
”Allah sekali-kali tidak akan
membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga
Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah
sekali-kali tidak memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan Allah
memilih siapa yang di kehendaki-Nya di antara Rosul-Rosul-Nya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan Rosul-Rosul-nya dan jika kamu beriman dan bertaqwa,
maka bagimu pahala yang besar”
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32 yang artinya sebagai
berikut:
”Katakanlah! Taatilah Allah dan
Rosul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir”
Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 92 yang artinya sebagai
berikut:
”Dan taatlah kamu kepada Allah dan
kepada Rasul-Nya, dan berhati-hatilah”
Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwa
ungkapan wajib taat kepada Rasul SAW dan larangan mebdurhakainya, merupakan
suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.
¨
Dalil al-Hadits
Dalam salah satu pesan Rosulullah SAW berkenaan dengan
keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, di samping Al-Qur’an sebagai
pedoman utamanya, beliau bersabda:
”Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada
keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rosul-Nya”
Dalam hadits lain Rosulullah bersabda:
”Wajib bagi sekalian berpegang
teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk,
berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”
Hadits-hadits tersebut di atas, menunjukkan kepada
kita bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits sebagai
pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang
teguh kepada Al-Qur’an.
¨
Kesepakatan Ulama (ijma’)
Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima,
dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung dalam hadits ternyata sejak
Rosulullah SAW masih hidup, sepeninggal beliau, mulai masa Khulafaur
ar-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya.
Banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi
kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal, memelihara, dan
menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan
menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
Ketika Abu bakar di ba’iat menjadi Khalifah, ia pernah berkata ”Saya
tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan atau dilaksanakan oleh
Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”
¨
Sesuai dengan petunjuk akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan
dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban missinya itu, kadang-kadang
beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi
maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan
ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga
tidak dibimbing oleh ilham. Hasik ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada
nas dan menasakhkannya.
2. Fungsi hadits terhadap
Al-qur’an
Dalam
hubungan dengan Al-qur’an, maka As-sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah
dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu.
Apabila di simpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan
Al-qur’an itu adalah sebagai berikut:
a) Bayan at-Tafsir
Yaitu memberikan rincian dan tafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, mamberikan Taqyid (pensyaratan)
ayat-ayat al-Qur’an yang masih mutlak, dan memberikan Takhsis (penentusn
khusus) ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Seperti hadits : ”shallu kamaa ra aitumuni ushalli”
(Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku sholat) adalah tafsiran dari ayat
al-Qur’an yang masih umum yaitu : ”Aqimush
shalah”.
b) Bayan at-Taqrir
Yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang diterangkan
di dalam al-Qur’an. Fungsi al-Hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi
kandungan al-Qur’an.
Seperti hadits : ”idha raitumuuhu
fashumu wa idha raitumuuhu fa afthiruu” (Apabila kalian melihat (ru’yah)
bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat
(ru’yah) itu maka berbukalah) adalah mentaqrir ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 185 ”faman zahia minkumusyahra falyashumhu”(Maka
barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa).
c) Bayan at-Taudhih
Yaitu
menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur’an seperti pernyataan Nabi : ”Allah tidak mewajibkan zakat melainkan
supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah di zakati” adalah taudhih
(penjelasan) terhadap ayat al-Qur’an dalam surat at-Taubah ayat 34 yang artinya sebagai
berikut : ”Dan orang-orang yang menyimpan
mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah, maka gembiralah
mereka dengan azab yang pedih”.
B. Kelompok Inkar Sunnah
1. Pengertian
Inkar
Sunnah adalah gerakan yang ada di kalangan umat islam yang tidak atau enggan
mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, mereka hanya berpegang kepada Al-Qur’an
saja.
Jadi, inkar sunnah
adalah kelompok dari kalangan umat islam yang menolak otoritas dan kebenaran
sunnah sebagai sumber hukum dan sumber ajaran Islam. Contoh : shalat yang dalam
Al-Qur’an hanya di jelaskan tentang perintah pelaksanaannya maka golongan inkar
sunnah dalam tata cara sholat terserah pada mereka sendiri. Jadi kadang dalam
satu hari nereka hanya melaksanakan satu sholat sedangkan dalam hadits
penjelasannya itu ada.
Para
penganut inkar sunnah terdiri dari 3 kelompok :
a.
pertama, mereka menolak
hadits-hadits Rosulullah secara keseluruhan.
b.
Kedua, mereka menolak hadits
Rosulullah kecuali hadits-hadits yang mengandung nashnya didalam al-Qur’an.
c.
Ketiga, mereka menolak hadits ahad
dan hanya menerima hadits mutawatir.
Kelompok inkar sunnah menolak sunnah karena mereka
beranggapan bahwa :
a.
Al-Qur’an di turunkan Allah SWT
dalam Bahasa Arab dan Bahasa Arab yang baik, maka Al-Qur’an akan dapat di
pahami dengan baik tanpa perlu penjelasan hadits-hadits Rasul.
b.
Al-Qur’an penjelas segala sesuatu,
maka menurut mereka Al-Qur’an sebagai penjelas segala sesuatu telah mencakup
segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umatnya.
2. Sunnah menurut para
pengingkarnya
Istilah
Sunnah disamakan pengertiannya dengan
istilah hadits sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama hadits pada umunya, yakni
segala sabda, perbuatan, taqrir, dan sifat Rasulullah SAW.
Pada zaman Nabi (w.632
M), umat Islam sepakat bahwa sunnah
merupakan salah satu sumber ajaran Islam di samping Al-Qur’an. Belum atau tidak
ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi ada dari kalangan umat
Islam yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa Khulafaur ar-Rasyidin (632-661 M) dari Bani Umayyah (750-1258 M) belum
terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran
Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah, muncul secara jelas sekelompok kecil
umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka
itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham inkar al sunnah yaitu munkir
al sunnah.
Hal itu dapat dipahami
dari uraian Syafi’i (757-820 M) dalam kitabnya, al-Umm. Mereka itu oleh Syafi’i dibagi 3 golongan yaitu : (1)
golongan yang menolak seluruh sunnah,
(2) golongan yang menolak sunnah,
kecuali bila sunnah itu memiliki
kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’an, (3) golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad, dan hanya menerima sunnah yang ber status mutawatir.
3. Argumen-argumen para
pengingkar Sunnah
Memang
cukup banyak argumen yang telah
dikemukakan oleh mereka yang berpaham inkar al-sunnah, baik oleh mereka yang
hidup pada zaman al-Syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari
berbagai argumen tersebut, ada yang berupa argumen-ergumen naqli (ayat
al-Qur’an dan hadits) dan ada yang berupa argumen-argumen non-naqli.
a. Argumen-argumen Naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen naqli tidak hanya
berupa ayat-ayat al-Qur’an saja, tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi.
Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 89 yang artinya :
”…Dan Kami turunkan kepadamu Alkitab (Alqur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu…”
Al-Qur’an surat
al-An’am ayat 38 yang artinya :
”…Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Alkitab…”
Menurut para pengingkar sunnah, kedua ayat diatas tersebut menunjukkan bahwa Al-qur’an
telah mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya
keterangan lain, misalnya sunnah.
Menurut para pengingkar sunnah, sesuatu zhann
(sangkaan) tidak dapat dijadikan hujah (hujjah).
Hadits pada umumnya berstatus zhann
dan hanya sedikit saja yang berstatus qathi’.
Kalau agana
didasarkan kepada sesuatu yang zhann,
maka berarti agama berdiri diatas dasar yanng tidak pasti. Hal itu tidak boleh
terjadi karena, hadits atau sunnah
bukanlah sumber ajaran Islam. Sumber ajaran Islam haruslah yang berstatus pasti
(qath’i) saja, yakni Alquran.
Dalam hal ini, kelompok pengingkar sunnah terbagi
menjadi 2 yaitu: satu kelompok menerima hadits mutawatir sebagai hujjah sebab hadits mutawatir bersifat qath’i, satu kelompok lagi menolak
seluruh hadits, termasuk yang mutawatir sebab
jumlah hadits yang berstatus mutawatir
hanya sedikit saja, sedang yang terbanyak adalah hadits ahad, yakni hadits yang menurut mereka berstatus zhann. Karena yang dominan adalah zhann, maka dengan demikian hadits
tidak dapat dijadikan hujjah. Tegasnya,
hadits atau sunnah bukanlah sumber ajaran Islam.
b. Argumen-argumen non-naqli
Yang dimaksud dengan argumen-argumen non-naqli adalah
argumen-argumen yang tidak berupa ayat al-Qur’an dan atau hadits.
Cukup banyak argumen-argumen yang termasuk non-naqli
yang telah diajukan oleh para pengingkar sunnah,
diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
v
Al-qur’an diwahyukan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad SAW (melalui malaikat Jibril) dalam bahasa arab.
Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa arab mampu memahami Al-qur’an
secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits Nabi. Dengan demikian,
hadits Nabi tidak diperlukan untuk
memahami petunjuk Al-qur’an.
v
Dalam sejarah, umat Islam
telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah.
Perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadits Nabi. Jadi
menurut para pengingkar sunnah, hadits Nabi merupakan sumber kemundurqn umat
Islam, agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadits Nabi.
4. Bukti-bukti kelemahan
argumen-argumen para pengingkar sunnah
a. Kelemahan argumen-argumen
naqli
Seluruh argumen-argumen naqli yang
diajukan oleh para pengingkar sunnah
untuk menolak sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam adalah lemah sekali.
Bukti-bukti kelemahannya dapat dikemukakan sebagai berikut
:
·
Menurut sebagian ulama’,
dalam Al-qur’an termuat semua ketentuan agama. Ketentuan itu ada yang bersifat
global dan juga terperinci. Ketentuan secara global dijelaskan rinciannya oleh
hadits Nabi. Apa yang dijelaskan oleh Nabi menurut Al-qur’an wajib dipatuhi
oleh orang-orang yang beriman.
·
Menurut sebagian para
ulama’ lagi yang dimaksud dengan Al-qur’an adalah al-lauh al-mahfudh yang menjelaskan tentang semua peristiwa tidak
ada yang dialpakan oleh Allah. Semuanya termuat dalam al-lauh al-mahfudh. Allah telah menetapkan rejekinya, ajalnya dan perbuatannya di al-lauh al-mahfudh.
b. Kelemahan-kelemahan
argumen non-naqli
·
Sebagian dari para ulama
pengingkar sunnah itu memeng
menyakini bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan
Al-qur’an. Dengan demikian para pengingkar sunnah
itu telah pula mengingkari petunjuk Al-qur’an itu sendiri. Sebab Al-qur’an
secara tegas telah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diberi kewenangan untuk
menjelaskan AL-qur’an dan orang-orang beriman diwajibkan oleh Allah untuk
mematuhi Allah dan Nabi Muhammad.
·
Sebagian pengingkar sunnah tidak mengetahui pengetahuan yang
cukup tentang bahasa arab, sejarah Islam, sejarah priwayatannya, dan pembinaan
hadits, berbagai kaidah, istilah dan ilmu hadits serta metodologi penelitian
hadits.
Referensi
Faridl,
Miftah. (2001). As Sunnah Sumber Hukum
Islam Yang Kedua, Bandung
: Pustaka.
H.M.
Syuhudi Ismail. (1995). Sejarah nabi
Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya.
Jakarta : Gema
Insani Pres.
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Prof. T.M (1965). Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta
: Bulan Bintang.
Quraish,
M. Syihab. (1996). Memurnikan Al-Qur’an.
Bandung : Mizan
Munzir
Suparta. (1993). Ilmu Hadits. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar