Jumat, 22 Mei 2015

PENGERTIAN AKAD




AKAD (PERIKATAN / PERJANJIAN)
1.             Akad
Pengertian akad menurut segi etimologi, adalah :
اَلرَّبْطُ بَيْنَ أَطْرَافِ الشَّىءِ سَوَاءٌ اَكَانَ رَبْطً حِسِّيًّاأَمْ مَعْنَوِيًّا مِنْ جَانِبٍ أَوْمِنْ جَانِبَيْنِ.

Artinya : Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara ma'nawi, dari satu maupun dua segi.
Bisa berarti : العقد (sambungan), العهد dan (janji).
Menurut termionologi ulama Fiqih, akad dapat dinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus :

1.       Pengertian umum
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi'iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu :
كُلُّ مَاعَزَمَ الْمَرْءُ عَلىَ فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَرَبِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ وَا ْلإِبْرَاءِ وَالطَّلاَقِ وَالْيَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَدَتَيْنِ فِى إِنْشَائِهِ كَالْبَيْع وَا ْلاِيْجَارِ وَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ.

Artinya : Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seprti jual beli, perwakilan, dan gadai.


2.       Pengertian khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama Fiqih, antara lain :
إِرْتِبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِى مَحَلِهِ

Artinya : Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara' yang berdampak pada obyeknya.

تَعَلُّقُ كَلاَمِ أَحَرِالْعَاقِدَيْنِ بِا ْلاخَرِ شَرْعًا عَلَى وَجْهٍ يَظْهَرُ أَثَرُهُ
فِى الْمَحَلِّ.

Artinya : Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara' pada segi yang tampak dan berdampak pada obyeknya.

Contoh : Ijab adalah pernyataan tentang penjual "saya telah menjual barang ini kepadamu" atau saya serahkan barang ini kepadamu.
Contoh : Qabul "Saya beli barangmu" atau "saya terima barangmu.
Dengan demikian, ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara'. Oleh  karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syariat Islam.

2.             Rukun Akad
Rukun akad adalah, ijab dan qobul, ijab dan qobul dinamakan shighatul aqdi atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak.
Shighatul aqdi ini memerlukan tiga syarat :
1.       Harus terang pengertiannya.
2.       Harus bersesuaian antara ijab dan qabul.
3.       Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Kemudian haruslah lafad yang dipakai buat ijab dan qabul itu terang pengertiannya menurut 'Urf (kebiasaan). Haruslah qabul itu sesuai dengan ijab dari segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, tidaklah sah aqad, kalau si penjual menjual sesuatu dengan harga Rp. 1.000,- kemudian si pembeli menjawab Rp. 500,- maka teranglah akad itu tak sah, karena tidak adanya tawafuq bainal ibaratain (persesuaian antara dua perkataan
Dan haruslah shighat ijab dan qabul memperlihatkan kesungguhan, tidak di ucapkan secara ragu-ragu, karenanya apabila shighatul aqdi tidak menunjukkan kesungguhan akad itu menjadi atas dasar inilah para Fuqaha mengatakan :
اَلْوَعْدُ بِالْبَيْعِ لاَيَنْعَقِدُبِهِ الْبَيْعُ وَلاَ يُلْزِمُ صَاحِبَهُ قَضَاءً.

Berjanji akan menjual belum merupakan akan penjualan, dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya.

-  Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Adapun orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikatagorikan rukun sebab keberadaanya sudah pasti.
-      Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu :
a)      Orang yang akad ('aqid), contoh : penjual dan pembeli.
b)      Sesuatu yang diadakan (maqad alaih), contoh harga atau yang di hargakan.
c)       Shighat, yaitu ijab dan qabul.
Definisi ijab dan qabul :
Menurut ulama Hanafiyah "adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul ialah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridaan atas ucapan orang pertama.
3.             Syarat-Syarat Umum Untuk Terjadinya Akad
1)      Syarat-syarat yang diperlukan dalam mengadakan akad.
Akad terdiri dari aqidah (dua orang aqid ), mahallul aqad (tempat akad), maudlu'ul aqad (obyek akad ) dan rukun-rukun aqad. Masing-masing dari pembentuk akad ini, mempunyai syarat yang wajib dipenuhi, supaya akad itu menjadi sempurna.
Syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam.
Pertama : Syarat-syarat yang bersifat umum yaitu : "Syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam akad".
Kedua : Syarat-syarat yang sifatnya khusus, yaitu : "Syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain.
Sebenarnya ada akad-akad yang dikhususkan untuknya beberapa syarat, atau boleh juga dengan perkataan syarat-syarat idlafiyah (syarat-syarat tambahan) yang harus ada disamping syarats-syarat yang umum, seperti syarat-syarat adanya saksi terjadinya nikah, dan seperti tak boleh adanya ta'liq dalam aqad mu'awadlahdan akad tamlik, seperti jual beli dan hibah. Ini merupakan syarat-syarat idlafiyah.
Syarat-syarat umum yang harus terdapat dalam segala macam akad ialah :
1.       Ahliyatul 'aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)
2.       Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi ( yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya ).
3.       Al-wilayatus syar'iyah fi maudli’il Aqdi (akad itu diizinkan oleh syara' dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya. Walaupun dia bukan si aqid sendiri).
4.       Alla yakunal 'aqdu au maudlu 'uhu mamna'an binashshin syar'iyin (janganlah ajad itu akad yang dilarang syara). Seperti bai maulana-sah, bai munabadzah yang bayak diperkatakan dalam kitab-kitab hadits.
ألا يكون العقد او موضعه ممنوعا بالناص شرعي
5.       Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberi faedah)
6.       Baqa’ul ijabi shalihan ila mauqu'il qabul (ijab itu berjalan terus tidak dicabut, sebelum terjadi qabul).
2)      Syarat-syarat akad yang lain adalah :
1.       Syarat terjadinya akad
2.       Syarat sah akad
3.       Syarat pelaksanaan akad
4.       Syarat kepastian hukum

1)      Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara' jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menadi batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian :
a.       Umum, yaitu syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
b.      Khusus, yaitu syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya. 

2)      Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara' untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemadaratan, dan syarat-syarat jual beli rusak (fasid)

3)      Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua sayrat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertasharuf sesuai dengan ketetapan syara', baik secara asli yakni dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil seseorang).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain :
1.       Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang berakad.
Jika dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
2.       Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.

4)      Syarat Kepastian Hukum ( Lujum )
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual beli adalah terhindar dari beberapa khiyar jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal ataua dikembalikan.

4.             Akhir Akad
Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad mauqud (ditangguhkan).
Akad habis dengan pembatalan.
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa menyewa dan pinjam-meminjama yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan dan lain-lain, atau yang ghair lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut :
b.      Ketika akad rusak
c.       Adanya khiyar
d.      Pembatalan akad
e.      Tidak mungkin melaksanakan akad
f.        Masa akad berakhir

Lafadz akad, berasal dari lafadz Arab al’ Aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan al ittifaq. Secara terminologi fiqh, akad didefinisikan dengan:
·       اِرْتِبَاطُ اِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرَوْعٍ يَثْبُتُ اَثَرَهُ فِى مَحَلِّهِ
“Perikatan ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan.[1]

Masuk ke dalam uqud, dari segi menjadi sebab milkiyah atau malakiyah:
a.                  uqud jabariyah, yaitu: akad-akad yang harus dilakukan berdasarkan pada putusan hakim, seperti menjual harta orang yang berhutang secara paksa. Maka penjualan itu sah walaupun dia menjual karena dipaksa oleh hakim, dan hakim merasa memaksa menjual barang itu untuk membayar hutang kepada orang lain. Dan masuk ke dalam uqud ini, tamalluk jabry, yaitu seperti syuf’ah.

b.                  Istimlak untuk maslahat umum. Umpamanya tanah-tanah yang di samping masjid, kalau diperlukan untuk masjid, harus dapat dimiliki oleh masjid dan pemilik harus menjualnya. Ini dikatakan tamalluk bil jabri (pemilikan dengan paksa).

            Akad adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’, yang karenanya timbullah beberapa hukum. Dengan kita memperhatikan takrif akad, dapatlah kita mengatakan, bahwa akad itu suatu: “amal iradi musytarak yaqumu alattaradi” (suatu perbuatan yang sengja dibuat oleh dua orang, berasarkan persetujuan masing-masing).

            Akad itu mengikat pihak-pihak dengan beberapa hukum syara’, yaitu haq dan iltizam, yang diwujudkan oleh akad. Dan akad itu terbentuk dengan adanya dua ‘aqid, yang dinamakan tharafayil aqdi (dua pihak aqad) adanya mahalul aqdi, yang dinamakan ma’qud ‘alaihi; danya maudlu’il aqadi (ghayata’ul ‘aqad) dan adanya rukun-rukun akad. Ada lima unsur yang harus dipenuhi.

            Aqid, terkadang masing-masing pihak terdiri dari seorang saja, terkadang terdiri dari beberapa orang, seperti apabila beberapa orang waris bersepakat memberikan sejumlah tertentu kepada salah seorang dari mereka yang menerima atau memperoleh bagian dari yang menerima pembayaran itu.

               Sudah diketahui kiranya masalah takharuj dalam ilmu faraidh, yaitu: bebrapa waris membayarkan kepada salah seorang waris, jumlah tertentu supaya bagian dari yang menerima bayaran ini menyerahkan bagiannya kepada waris-waris lain. Ini dalam ilmu faraidh dikatakan: takharuj.

               Ini contoh beberapa orang menghadapi orang seorang pada pihak lain. Aqid ini terkadang orang yang punya hak sendiri, (aqid asli) dan terkadang yang seorang merupakan wakil.

               Mahallul ‘aqdi atau ma’qud ‘alaihi, ialah benda yang menjadi obyek akad, seperti benda-benda yang dijual dalam aqad bai’ (jual beli) mauhub (yang dihibah) dalam akad hibah, marhum (yang digadai) dalam akad rahn, hutang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah dan istimta’ dalam akad zawaj. Ini semua masuk ke dalam akad.

               Maushu’ul ‘aqdi, ialah: “Tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad itu.” Maudlu’ ini tetap satu, tidak berbeda-beda dalam akad yang serupa. Kalau berbeda akad, berbedalah maudlu’.

               Maudlu’ dalam akad bai’ (jual beli): memindahkan barang dari si penjual kepada si pembeli. Dalam akad hibah, maudlu’nya mengalihkan pemilikan brang kepada si mauhub, tanpa ‘iwadl (ganti). Dalam aqad ijarah, memilikkan manfaat tanpa ‘iwadl.
               Rukun akad, adalah ijab dan qabul. Ijab dan qabul dinamakan sighatul aqdi, atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak, sighatul aqdi ini memerlukan tiga syarat:
1)                        harus terang pengertiannya
2)                        harus bersesuaian antara ijab dan qabul
3)                        memeperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan

               Kemudian haruslah lafad yang dipakai ijab dan qabul itu terang pengertiannya menurut ‘urf (kebiasaan). Haruslah qabul itu sesuai dengan ijab dari segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, tidaklah sah akad. Kalau si penjual menjual sesuatu dengan harga Rp.1000,- kemudian si pembeli menjawab Rp.500,- maka teranglah akad itu tidak sah. Karena tidak adanya tawafuq bainal ‘ibaratain(persesuaian antara dua perkataan).

               Dan haruslah shighat ijab dan qabul memperlihatkan kesungguhan, tidak diucapkan secara ragu-ragu.Karenanya apabila shighatul aqdi tidak menunjukkan kesungguhan akad itu menjadi tidak sah. Atas dasar inilah para fuqaha mengatakan:
·         اَلْوَعْدُ بِالْيَبِيْعِ لاَيَنْعَقِدُ بِهِ الْبَيْعُ وَلاَيَلْزَمُ صَاحِبَهُ قَضًا
“Berjanji akan menjual belum merupakan akad penjualan, dan orang yang berjanji itu tidak dapat dipaksa menjualnya”.




HUKUM AKAD

               Hukum asal bagi akad, ialah: “tujuan yang asasi yang untuk mewujudkan diadakan akad, supaya akad itu menjadi jalan sampai pada tujuan itu. Ini yang dikatakan hukum asli bagi akad.

               Iltizam yang ditimbulkan oleh akad, ialah:”keharusan membuat sesuatu,atau keharusan meninggalkan sesuatu lantaran muqtadlal aqdi atas salah seorang aqid untuk kepentingan pihak yang kedua atau pihak lain”. Umpamanya menyerahkan barang yang dijual, mengganti kerugian lantaran ada cacat, membayar tsaman (harga) barang,tidak memakai barang wadi’ah (kita tidak menggunakan barang-barang yang dititipkan pada kita).

Alasan kita membedakan hukum asli dengan iltizam, ialah:

               Pertama,hukum asli dengan sendirinya berwujud dengan berwujudnya akad yang sah, tidak memerlukan tanfidz lagi. Dengan terjadinya akad yang sah,beralihlah pemilikan dari si penjual kepada si pembeli. Dengan terjadinya akad yang sah,beralihlah pemilikan dari si penjual kepada si pembeli. Dengan terjadinya akad dalam masalah ijarah (sewa menyewa), masalah nikah dan shuluh (perdamaian) antara pihak-pihak yang bersengketa, dapatlah  yang menyewa menggunakan manfaat yang disewa,halallah ‘isyrah zaujiyah bagi suami istri dan hilanglah hak menyelesaikan perkara oleh hakim dalam perkara-perkara yang dicapai perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa. Inilah yang membedakan hukum asli dan iltizam.
              
               Kedua, ketika terjadi perselisihan para aqid (pihak-pihak) dalam mentahfidzkan sebagian iltizam, dipandanglah iltizam itu belum ditanfidzkan, sehingga si multazim dapat membuktikan bahwa dia telah mentahfidzkannya. Jika si musytari mengatakan, bahwa dia belum menerima barang yang dibeli, maka wajiblah si penjual membuktikan bahwa ia telah menyerahkannya.



[1] Ibnu Abidin, Radd al Muhtar ‘ala ad Dur al Muhtar,  (Mesir al Amiriyah,tt) Jilid II. Hlm. 255

Tidak ada komentar:

Posting Komentar